STOP DIKOTOMI DALAM BERILMU

 

Oleh Zakky Fahma Auliya
Dosen UIN FEBI Raden Mas Said Surakarta dan Mahasiswa PDIE UII

Suasana idul fitri 1443 H ini masih menyisakan pertanyaan menggelitik dalam benak saya. Dimana hal-hal yang setiap tahun terjadi tetapi masih juga menjadi sesuatu yang dibahas oleh media dan dikonsumsi oleh masyarakat muslim Indonesia. Adalah penentuan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal, yang masih saja diperdebatkan masyarakat muslim indonesia. Berulangnya perdebatan dimasyarakat, tidak lain karena kurangnya literasi dalam ilmu Rukyat dan Hisab. Akibatnya setiap tahun perdebatan mengenai hal ini berlangsung di masyarakat. Ironis memang.

Pendalaman pada berbagai macam ilmu, khususnya di indonesia menjadi hal yang perlu mendapat perhatian ekstra. Pada berbagai lapisan masyarakat, ada kecenderungan mendikotomi (mengkotak-kotakan) ilmu- dalam bahasa yang saya gunakan, ada ilmu agama dan ilmu non-agama-. Persoalan dikotomi ini tidak lepas dari kiblat ilmu pada dunia barat. Dikotomi ilmu yang terjadi dimasyarakat, mendorong masyarakat indonesia untuk belajar hanya salah satu ilmu tersebut, padahal kedua ilmu tersebut adalah ilmu yang berasal dari satu sumber yaitu Allah SWT. Masyarakat menganggap bahwa mempelajari salah satu ilmu tersebut sudah cukup, karena ilmu lain yang tidak dipelajari akan dipelajari oleh orang lain. Sehingga dorongan untuk mempelajari ilmu agama dan non-agama menjadi kurang diminati.

Bila kita mempelajari bagaimana masa kejayaan islam khususnya dalam bidang IPTEKS, banyak ilmuwan-ilmuwan muslim, tidak hanya ahli dalam satu bidang ilmu, tetapi lintas ilmu. sebagai contohnya adalah Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai "Avicenna" di dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan dokter kelahiran Persia (sekarang Iran). Ia juga seorang penulis yang produktif yang sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan kedokteran. Bagi banyak orang, dia adalah "Bapak Kedokteran Modern", background ilmu Ibnu Sina disamping ahli kedokteran juga mempelajari Ilmu Filsafat dan Ilmu Kalam. Jabir ibn Hayyan yang bernama lengkap Abu Musa Jabir bin Hayyan Al-Shufiy Al-Azadiy, yang biasa disebut Al- Thusi atau Al-Kufi, dan dalam literature Barat sering disebut Geber, lahir di Thus, Khurasan, Iran pada tahun721 dan wafat di Kufa, Bagdad, Iraq, tahun 815. Dikenal sebagai seorang sufi, dimana hidupnya identik dengan merenung, mediasi, tafakur, dan introspeksi diri, disisi yang lain aktif mendalami hal-hal yang sangat rigit, mengurai dan meramu zat-zat kimia.

 

Merujuk pada dua contoh ilmuwan muslim dahulu, dimana mempelajari ilmu agama dan ilmu ‘Non-agama’ secara bersamaan akan memberikan kedalaman dan keluasan dalam mempelajari ilmu yang bersumber dari Allah. Mendikotomi antara ilmu agama dan non-Agama sudah waktunya untuk ditinggalkan. Hal ini untuk memutus menurunnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia islam pada umumnya. Menguasai kedua ilmu tersebut akan berguna agar penerus bangsa indonesia ini tidak hanya mementingkan karirnya, tetapi juga perannya dalam bermasyarakat, dengan berkontribusi mewujudkan islam yang rahmatan lil alamin, sehingga keharmonisan terjadi dalam masyarakat.

Salah satu cara untuk tidak mendikotomi ilmu pengetahuan adalah perlunya sistem pendidikan yang terpadu, dimana ilmu pengetahuan baik agama dan non agama dipelajari secara bersama dengan kurikulum yang mendukung keduanya. Sistem dengan penguatan pada kedua ilmu pengetahuan, sehingga akan muncul para ilmuwan-ilmuwan baru muslim yang dapat mengantisipasi perkembangan-perkembangan zaman atas dasar IPTEKS dan kuat dalam ilmu agama. Kuatnya perkembangan IPTEKS saat ini harus didukung oleh pengetahuan tentang ilmu agama sehingga usaha-usaha manusia untuk mengungkapkan rahasia alam ini juga harus diselaraskan dengan tujuan penciptaan sebenarnya. Jangan sampai sains itu digunakan untuk hal-hal yang merusak keharmonisan alam dan menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia.

 

wallahu a'lam bishawab.
Previous Post Next Post