
JAKARTA, beritakebumen.co.id - Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan garis kemiskinan Indonesia per Maret 2025 sebesar Rp609.160 per kapita per bulan. Penetapan angka ini diambil berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan pada Maret 2025. Garis kemiskinan digunakan sebagai indikator untuk menentukan jumlah penduduk miskin, bukan berdasarkan pendapatan, melainkan dari sisi pengeluaran setiap individu.
Dengan kata lain, seseorang dikategorikan miskin jika pengeluarannya dalam satu bulan berada di bawah nilai tersebut. Perhitungan ini juga memperhitungkan kebutuhan dasar konsumsi baik makanan maupun nonmakanan, sesuai dengan standar nasional konsumsi.
Garis kemiskinan menjadi patokan utama dalam menentukan status kemiskinan di Indonesia. Pada Maret 2025, BPS menetapkan bahwa garis kemiskinan berada di angka Rp609.160 per kapita per bulan. Angka ini merepresentasikan pengeluaran minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Baca Juga : Menurut Bank Dunia: 68,3% Penduduk RI Kategori Miskin, Itu Setara 194,7 Juta Jiwa
Garis Kemiskinan 2025 Ditetapkan Berdasarkan Pengeluaran
Garis kemiskinan menjadi patokan utama dalam menentukan status kemiskinan di Indonesia. Pada Maret 2025, BPS menetapkan bahwa garis kemiskinan berada di angka Rp609.160 per kapita per bulan. Angka ini merepresentasikan pengeluaran minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Baca Juga : Menurut Bank Dunia: 68,3% Penduduk RI Kategori Miskin, Itu Setara 194,7 Juta Jiwa
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menekankan bahwa indikator ini bukan berdasarkan penghasilan, melainkan pengeluaran aktual yang terjadi. Hal ini penting agar data kemiskinan bisa menggambarkan kondisi nyata di lapangan, bukan hanya potensi kemampuan ekonomi seseorang.
"Nilai garis kemiskinan pada Maret 2025 kita ketahui yang dinamakan penduduk miskin pada saat pengeluaran dibawah garis kemiskinan garis kemiskinan Maret 2025 Rp 609.160 per kapita per bulan," ungkap Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono dalam konferensi pers, Jumat (25/7/2025), dikutip dari cnbcindonesia.
Garis kemiskinan sebesar Rp609.160 per bulan ini jika dihitung secara harian setara dengan Rp20.305 per kapita. Dalam perinciannya, porsi pengeluaran untuk makanan mencapai Rp454.299 atau sekitar 74,58 persen dari total, sedangkan sisanya sebesar Rp154.861 digunakan untuk pengeluaran nonmakanan.
"Nilai garis kemiskinan pada Maret 2025 kita ketahui yang dinamakan penduduk miskin pada saat pengeluaran dibawah garis kemiskinan garis kemiskinan Maret 2025 Rp 609.160 per kapita per bulan," ungkap Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono dalam konferensi pers, Jumat (25/7/2025), dikutip dari cnbcindonesia.
Rincian Komposisi Garis Kemiskinan: Makanan Masih Mendominasi
Garis kemiskinan sebesar Rp609.160 per bulan ini jika dihitung secara harian setara dengan Rp20.305 per kapita. Dalam perinciannya, porsi pengeluaran untuk makanan mencapai Rp454.299 atau sekitar 74,58 persen dari total, sedangkan sisanya sebesar Rp154.861 digunakan untuk pengeluaran nonmakanan.
Artinya, kebutuhan makan masih menjadi komponen paling dominan dalam struktur konsumsi dasar masyarakat. Pengeluaran nonmakanan mencakup kebutuhan penting lain seperti pendidikan, transportasi, dan kesehatan. Komposisi ini menggambarkan bagaimana penduduk dengan pengeluaran rendah sangat tergantung pada kecukupan pangan harian.
Garis kemiskinan disusun dengan mengacu pada standar konsumsi nasional. BPS menilai bahwa pendekatan ini mampu merepresentasikan pola konsumsi penduduk Indonesia secara umum, baik dalam hal makanan maupun nonmakanan. Dengan standar ini, kebutuhan dasar dihitung sesuai dengan jumlah kalori, kebutuhan nutrisi, serta pengeluaran minimal nonmakanan yang diperlukan untuk hidup layak.
Standar Konsumsi Nasional Jadi Dasar Perhitungan Garis Kemiskinan
Garis kemiskinan disusun dengan mengacu pada standar konsumsi nasional. BPS menilai bahwa pendekatan ini mampu merepresentasikan pola konsumsi penduduk Indonesia secara umum, baik dalam hal makanan maupun nonmakanan. Dengan standar ini, kebutuhan dasar dihitung sesuai dengan jumlah kalori, kebutuhan nutrisi, serta pengeluaran minimal nonmakanan yang diperlukan untuk hidup layak.
Perhitungan ini juga memastikan bahwa setiap individu mendapatkan hak dasar konsumsi yang sama, terlepas dari daerah asalnya. Deputi BPS Ateng Hartono menyatakan bahwa angka tersebut mencerminkan konsumsi riil masyarakat, bukan asumsi atau patokan teoritis semata.
Garis kemiskinan menurut BPS tidak ditentukan dari jumlah penghasilan harian seseorang, melainkan berdasarkan pengeluaran. Artinya, seseorang dengan penghasilan tinggi tetap bisa dikategorikan miskin apabila pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan. Sebaliknya, masyarakat dengan pengeluaran di atas Rp20.305 per hari tidak termasuk kategori miskin.
Garis Kemiskinan Tidak Mengacu pada Pendapatan
Garis kemiskinan menurut BPS tidak ditentukan dari jumlah penghasilan harian seseorang, melainkan berdasarkan pengeluaran. Artinya, seseorang dengan penghasilan tinggi tetap bisa dikategorikan miskin apabila pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan. Sebaliknya, masyarakat dengan pengeluaran di atas Rp20.305 per hari tidak termasuk kategori miskin.
Penekanan ini penting untuk menghindari bias asumsi bahwa pendapatan mencerminkan kesejahteraan. Banyak penduduk yang hidup hemat atau menahan pengeluaran, padahal kondisi ekonominya cukup mapan. Oleh karena itu, BPS menggunakan pendekatan pengeluaran untuk mengukur kemiskinan dengan lebih akurat.
Garis kemiskinan bukan sekadar angka statistik, melainkan gambaran nyata tentang bagaimana sebagian masyarakat Indonesia hidup dalam keterbatasan. Pemerintah perlu menjadikan data ini sebagai dasar dalam menyusun kebijakan perlindungan sosial dan pemberdayaan ekonomi. Program bantuan pangan, pendidikan, dan kesehatan harus diarahkan kepada mereka yang pengeluarannya benar-benar di bawah ambang batas tersebut.
Garis kemiskinan bukan sekadar angka statistik, melainkan gambaran nyata tentang bagaimana sebagian masyarakat Indonesia hidup dalam keterbatasan. Pemerintah perlu menjadikan data ini sebagai dasar dalam menyusun kebijakan perlindungan sosial dan pemberdayaan ekonomi. Program bantuan pangan, pendidikan, dan kesehatan harus diarahkan kepada mereka yang pengeluarannya benar-benar di bawah ambang batas tersebut.
Di sisi lain, masyarakat juga diajak untuk lebih peduli terhadap sesama, dan saling mendukung dalam menciptakan kehidupan yang lebih layak dan setara. Mengentaskan kemiskinan tidak cukup dengan bantuan, tetapi juga melalui pembangunan yang berpihak pada kebutuhan dasar rakyat.
-----------------------------
Ikuti Berita Kebumen di Google News
-----------------------------
Ikuti Berita Kebumen di Google News