DomaiNesia

GURU DI TENGAH GEMPURAN ZAMAN: Antara Realitas Kesejahteraan dan Peran Filosofis Sebagai Tiang Pendidikan

GURU DI TENGAH GEMPURAN ZAMAN: Antara Realitas Kesejahteraan dan Peran Filosofis Sebagai Tiang Pendidikan
Sumber foto @khasna_karunia

KEBUMEN, beritakebumen.co.id - Setiap tanggal 25 November, publik kembali diingatkan pada satu profesi yang keberadaannya tidak bisa tergantikan yaitu guru. Namun, penghormatan terhadap guru kerap berhenti pada ucapan seremonial, sementara realitas yang mereka hadapi begitu kompleks dan pelik. Berbagai survei dan laporan terkini menunjukkan bahwa kondisi guru di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud) pada 2023 melaporkan bahwa lebih dari 40% guru honorer menerima honor di bawah Rp500.000 per bulan angka yang bahkan tidak menyentuh batas upah minimum daerah. Laporan Kompas (2024) juga menyoroti fakta bahwa banyak guru harus mengajar di dua hingga tiga sekolah demi mencukupi kebutuhan hidup.

Tidak hanya persoalan honor, beban administrasi juga menjadi masalah laten bahkan sampai saat ini belum ada solusi. Laporan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) tahun 2023 menyebutkan bahwa guru harus menghabiskan 40–60% waktu kerja untuk administrasi, mulai dari laporan kinerja harian hingga perangkat pembelajaran yang sering mengalami revisi akibat kebijakan kurikulum yang berubah-ubah. Situasi ini membuat guru terjebak dalam rutinitas teknis yang menguras energi, sehingga ruang bagi mereka untuk berkreasi dan memperdalam pedagogi semakin sempit.

Di tengah berbagai tekanan tersebut, peran guru tetap digambarkan sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Namun, status pahlawan tidak seharusnya membuat kondisi mereka tidak diperjuangkan. Seharusnya, urgensi untuk mensejahterakan guru semakin mendesak karena guru adalah tiang utama pendidikan. Jika tiangnya rapuh, bangunan pendidikan akan limbung. Secara filosofis, guru adalah penjaga gerbang peradaban. Sejak masa Ki Hadjar Dewantara hingga era sekarang, konsep guru sebagai ing ngarso sung tulodo selalu menjadi acuan moral dalam pendidikan Indonesia. 

Guru bukan hanya pengajar, tetapi pembentuk karakter, penanam nilai, dan penjaga nalar sehat generasi bangsa. Dalam konteks ini, guru memikul peran yang jauh lebih besar dari sekadar profesi, karena mereka adalah fondasi bagi keberlanjutan kebudayaan dan kemanusiaan. Namun, kemuliaan peran itu kerap tidak diimbangi dengan kemuliaan perlakuan. Guru dituntut menjadi pilar tegak, sementara tanah tempat mereka berpijak goyah oleh persoalan kesejahteraan, administratif, dan birokrasi. Kondisi yang kontradiktif inilah yang perlu kita refleksikan bersama dalam momentum Hari Guru.


Tuntutan Profesionalisme dan Tekanan Zaman AI


Guru menjadi sosok pertama yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Ketika orang tua menyerahkan anak-anak mereka pada sekolah, sejatinya mereka menyerahkan masa depan. Guru berada di garis depan, mendampingi setiap proses perkembangan kognitif, emosional, sosial, hingga moral peserta didik. Di kelas, guru bukan hanya mengajar kurikulum, tetapi juga mengelola dinamika psikologis, memahami latar belakang siswa yang beragam, serta menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang kadang tak tertulis di buku pelajaran.

Namun, ruang kelas saat ini bukan lagi ruang statis akan ettapi lebih dinamis dan kompleks. Dengan adanya kemajuan teknologi, terutama kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), mengubah lanskap pembelajaran dengan sangat cepat. ChatGPT, platform video pembelajaran, hingga aplikasi otomatisasi penilaian membuat dunia pedagogi bergerak ke arah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Guru dipaksa untuk terus beradaptasi agar tidak tertinggal oleh generasi digital yang jauh lebih cepat memahami teknologi. 

Di satu sisi, AI memberi peluang besar bagi kemajuan pendidikan. Guru dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkaya media pembelajaran, mempersonalisasi pengalaman belajar siswa, hingga mengurangi beban administrasi. Tetapi di sisi lain, muncul tantangan baru, apakah guru cukup siap menguasai teknologi. Survei UNESCO 2023 mencatat bahwa lebih dari 60% guru di Asia tidak memiliki pelatihan memadai terkait literasi digital dan AI.

Tantangan lain yang sebenarnya bisa diperbaiki yaitu adanya kurikulum yang berubah-ubah, hal ini semakin memperberat situasi. Mulai dari Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat saat pandemi, Kurikulum Merdeka yang kini masih digunakan, guru sering kali berada pada posisi yang harus menyesuaikan diri dalam waktu singkat. Sebuah laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2022 bahkan menyatakan bahwa pergantian kurikulum yang terlalu cepat menimbulkan learning gap antara guru yang adaptif dan guru yang masih kesulitan mengikuti perubahan. Pergantian kurikulum ini juga bermotif anggaran, sehingga bisa menjadi ladang untuk korupsi.

Ketimpangan honor guru juga telah menjadi isu kronis di tengah kasus-kasus korupsi di dunia pendidikan. Banyak guru honorer menerima upah yang tidak mencerminkan beban kerja mereka. Ada guru honorer di daerah yang hanya menerima Rp150.000 per bulan, sebuah angka yang bahkan tidak cukup untuk biaya transportasi menuju sekolah apalagi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Guru yang seharusnya fokus mendidik, justru harus memikirkan cara bertahan hidup. 

Tuntutan tugas yang berat, tanggung jawab moral yang besar, dan tekanan ekonomi yang tinggi menciptakan kondisi yang tidak sehat bagi ekosistem pendidikan. Guru dituntut profesional, kreatif, inovatif, sekaligus adaptif. Namun tanpa dukungan gaji yang memadai, tuntutan ini terasa seperti beban yang terus menekan, bukan tantangan yang mendorong kemajuan.

Di tengah semua itu, refleksi bagi guru masa kini menjadi penting. Guru perlu menatap dirinya sebagai pembelajar seumur hidup. Zaman memang berubah cepat, tetapi identitas guru tidak boleh hilang. Menjadi pendidik yang humanis, yang mengerti bahwa teknologi sebesar apa pun tidak dapat menggantikan ketulusan bimbingan manusia. Guru perlu menjadikan AI sebagai alat, sebagai mitra, bukan sebagai lawan. 

Selain itu, guru masa kini perlu mempertahankan sensitivitas sosial. Siswa menghadapi tantangan psikologis yang lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya diantaranya stres akademik, tekanan media sosial, perundungan digital, hingga krisis identitas pada usia remaja. Guru harus hadir sebagai pendamping yang memahami dinamika itu, sekaligus menjaga ruang kelas tetap aman dan inklusif.

Hari Guru bukan sekadar selebrasi tahunan, akan tetapi ini adalah momen kontemplasi kolektif bagi bangsa untuk menata kembali arah pendidikan. Negara perlu memperbaiki sistem kesejahteraan guru, menyederhanakan administrasi, dan memberikan pelatihan literasi digital yang merata. Masyarakat perlu mengurangi tuntutan tidak realistis kepada guru dan memberikan penghargaan yang sesuai. Sementara guru sendiri perlu terus memperbarui kompetensi, mempertahankan integritas, dan merawat idealisme. Guru adalah inti pendidikan, bukan sebagai pelengkap. Tanpa guru yang kuat, cerdas, dan sejahtera, tidak akan ada reformasi pendidikan yang benar-benar berhasil.

_
Tulisan diatas merupan Opini dari Eka Safitri (Universitas An Nasher Cirebon)



-----------------------------
Ikuti BeritaKebumen
Previous Post Next Post